Breaking News

Saturday, September 26, 2015

Hakikat Kemerdekaan dalam Refleksi Pendidikan


 
Kemerdekaan bukan hanya dimaknai dengan lepasnya bangsa Indonesia dari keterjajahan bangsa asing. Tetapi, lebih dari itu, kemerdekaan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi seluruh rakyatnya yakni terbebas dari segala bentuk eksploitasi, kebodohan, dan ketidakadilan.
Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan mendefinisikan format manusia merdeka adalah mereka yang hidupnya tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Jadi, ketika rakyat Indonesia belum dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia merdeka, maka bangsa Indonesia belum bisa dikatakan merdeka.
Sejarah membuktikan bahwa pendidikan memberikan kontribusi yang besar dalam lahirnya kemerdekaan. Melalui pendidikan, tokoh seperti R.A Kartini, R. Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara menanamkan jiwa dan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Pada masa perang kemerdekaan dan revolusi mereka tidak hanya sekadar berorganisasi atau menjadi aktivis, tetapi juga memiliki strategi untuk membangun kekuatan bersenjata. Para tokoh itu membangun visi dan misi pendidikan untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan.
Berbeda dengan sekarang, model pendidikan untuk menumbuhkan jiwa kebangsaan dan perasaan merdeka seakan dicabut dari akar tonggaknya. Pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan. Bahkan, pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekaan dan memberdayakan pelajar. Wajar jika spirit kemerdekaan, kebebasan, dan pencerahan sulit ditemukan dalam sistem dan praktik pendidikan saat ini. Tidak ada ruang dan waktu untuk terjadinya liberasi yang mendorong sikap mental para pelajar untuk menjadi manusia merdeka.
Belum lagi, biaya pendidikan yang kian mahal dan hampir tak terjangkau oleh rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi misalnya, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang sekaligus menjauhkan diri dari sosial masyarakat. Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan murah, baik, dan berkualitas belum dapat terwujud.
Bangsa ini seharusnya membentuk spirit kemerdekaan untuk merancang pendidikan berjiwa merdeka. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan bisa diwujudkan dalam dua hal. Pertama, dalam sistem pendidikan yang diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan egalitarianisme. Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam proses pembelajaran, interaksi antara siswa dengan guru, sesama guru, dan antar siswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog, presentasi, pelajaran yang interaktif, partisipatoris, penilaian yang transparan, dll.
Pendidikan juga perlu menanamkan sikap kritis pada anak didik sehingga terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan pada eranya, berani membicarakan masalah lingkungan dan ikut mencarikan solusi. Spirit kemerdekaan dan pendidikan kritis akan menumbuhkan curiousity intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik. Mereka akan mampu melakukan transformasi diri menjadi orang-orang merdeka, lantaran institusi pendidikan dan lingkungan mampu memberikan iklim yang kondusif. (*)

 

oleh Amin Fitriyah
Read more ...

Pulau Surga Di Bumi Cenderawasih

oleh William Adri Sigarlaki

Tanah Papua, tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah, sebanyak madu adalah harta harapan…
 
 
Sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan oleh putra Papua, Edo Kondologit. Lagu ini menggambarkan keindahan bumi cenderawasih yang telah tercatat sebagai taman nasional di Indonesia. Konon surga kecil ini juga tercatat sebagai 10 perairan terbaik dunia.
Saya teringat kisah pengabdian sebagai guru SM-3T dari Universitas Negeri Manado yang ditugaskan mengajar di Papua. Tepatnya di Provinsi Papua Barat, Kabupaten Sorong Selatan, Distrik Inanwatan bersama rekan lain dari Universitas Negeri Malang dan Gorontalo. Tak pernah terbayangkan saya bisa menginjakkan kaki di pulau yang dikenal dengan cenderawasihnya ini.
SM-3T mengenalkan saya dengan keindahan Indonesia lebih dekat. Saya berkesempatan menengok eksotisme pulau yang menjadi incaran turis lokal maupun mancanegara, Kepulauan Raja Ampat. Bak lukisan alam, Raja Ampat menjadi kado terindah atas pengabdian saya selama setahun.
Waktu itu saya bersama delapan teman mengunjungi wisata alam Raja Ampat. Perjalanan dimulai dari kota Sorong menggunakan kapal dengan menempuh waktu hampir empat jam. Lelah sedikit terbayarkan saat kapal berlabuh di Waisai. Aroma surga sudah mulai tercium di balik awan yang membiru cerah. Disitu pula hati menjadi takjub atas indahnya ciptaan Tuhan yang ada dihadapan kami.
Pulau-pulau kecil seperti menyuarakan selamat datang kepada kami. Pasir putihnya nampak halus seperti tepung yang baru saja digiling. Ini tidak sekadar lukisan datar, tapi karya sekian dimensi yang dapat kami sentuh seutuhnya. Air laut nampak biru dengan degradasi putih akibat deburan ombak di permukaan pantai yang tenang. Sedang perbukitan nan cantik menjadi pelengkap topografi yang tidak rata di Indonesia bagian timur.
Satu dari banyak pulau yang menghipnotis saya adalah Pulau Arborek. Disana merupakan tempat berkumpulnya ikan-ikan jenis Nemo yang sangat bersahabat dengan para penyelam. Tak heran banyak wisatawan yang mewajibkan diri untuk diving ataupun snorkeling disini. Flora-faunanya indah, mereka hidup dan mati sesuai dengan kehendak alam. 
Raja Ampat tidak hanya kaya dengan taman laut, tapi juga menyuguhkan peninggalan sejarah seperti yang ada di Pulau Misool. Disana ditemukan cap tangan pada dinding-dinding batu karang. Para ahli memperkirakan usianya telah mencapai 50 ribu tahun  dan dijadikan bukti jalur penyebaran manusia dari kawasan barat nusantara menuju Papua dan Melanesia.
Wisatawan juga bisa mengunjungi bangkai pesawat bekas peninggalan Perang Dunia II di Pulau Wai. Akses menuju tempat ini tidaklah sulit, karena di tempat ini sering diselenggarakan sail. Inilah pesona Raja Ampat, pulau surga di bumi Cenderawasih. (*)
Read more ...

Dualisme Kehidupan di Pulau Sebatik

oleh Anung Winahyu
 
 
Takkan setitikpun hilang dari petaku, takkan satu pulau pun hilang dari negeriku, akan kujaga ke-Bhinekaan bangsaku, NKRI harga mati.

Satu mimpi perjalanan saya adalah bisa sampai ke tapal batas Indonesia. Tahun 2013, akhirnya saya menginjakkan kaki di satu pulau paling depan Indonesia, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Dari Pulau Nunukan, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Pulau Sebatik menggunakan speedboat. Pulau ini berbatasan langsung dengan Malaysia. Di Sebatik terdapat lima kecamatan yang kepemilikannya diakui oleh dua negara yakni Indonesia dan Malaysia. Keduanya sama-sama memiliki batas darat maupun laut.
Sudut luar Indonesia ini tentu tidak lepas dari berbagai permasalahan wilayah yang masuk dalam zona merah perbatasan. Letaknya yang berada di perbatasan menjadikan pulau ini sebagai daerah strategis dalam peta lalu lintas antar negara. Pulau kecil yang keberadaannya terpisah dari Kabupaten Kota Nunukan ini hendaknya menjadi kawasan yang mendapat perhatian khusus. Peristiwa pahit yang dahulu menimpa Pulau Sipadan dan Ligitan harusnya menjadi pelajaran penting pemerintah Indonesia agar tidak lagi melakukan “pembiaran” wilayah perbatasan.
Masyarakat Pulau Sebatik dikenal unik karena mempunyai dualisme kehidupan, yaitu kehidupan Indonesia dan Malaysia. Bahkan, terdapat rumah-rumah penduduk yang berada tepat di garis perbatasan. Kamar dan ruang tamu masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapur dan kamar mandi masuk wilayah Malaysia. Mata uang yang beredar pun menggunakan rupiah dan ringgit Malaysia. Saya dan beberapa rekan SM-3T lainnya menemukan banyak harga barang berlabel ringgit. Saat itu kami berkeliling mencari oleh-oleh di sekitar Sebatik. Sayangnya para penjual lebih suka mendapatkan ringgit daripada rupiah.

Satu keistimewaan Pulau Sebatik adalah masyarakatnya yang bisa mengakses dua negara. Mereka cukup membayar sejumlah uang untuk mendapatkan pas lintas batas. Pas berbeda dengan paspor, ini berlaku hanya di wilayah Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia seperti Tawau, Sabah, dan Ba Kelalan.

Pasokan kebutuhan pokok seperti gula, minyak goreng, dan bahan bakar kendaraan di pulau ini bergantung dari Malaysia. Hanya pisang dan hasil kebun andalan Sebatik yang dijual di pasar-pasar Tawau. Faktor geografis dan aksesibilitas untuk mendapatkan produk-produk dari Malaysia membuat warga perbatasan secara ekonomi merasa terjajah. Sebagian masyarakat lebih memilih pergi ke Tawau ketimbang Nunukan.

Di bidang pendidikan juga demikian. Orang Sebatik lebih suka menyekolahkan anaknya ke Malaysia daripada ke Indonesia karena biayanya lebih murah. Selain itu, untuk anak sekolah dasar juga mendapat seragam gratis. Hal ini tentu saja menguntungkan masyarakat Sebatik yang secara ekonomi berpenghasilan relatif rendah, khususnya para nelayan.
Pembangunan Sebatik tak sebanding dengan Kota Tawau, Malaysia. Tawau terang-benderang begitu senja tiba. Sebaliknya, sebagian wilayah Sebatik masih gelap karena listrik digunakan secara bergiliran. Pulau Sebatik yang seharusnya memiliki banyak keunggulan sebagai “beranda” depan negara Indonesia menjadi permasalahan penting terhadap keutuhan wilayah NKRI. Ini menjadi PR pemerintah untuk memberikan solusi konkret masalah di wilayah perbatasan Indonesia. (*)
Read more ...
Designed By Published. TIM Blogger Pioneer