oleh Anung Winahyu
Takkan setitikpun hilang dari petaku,
takkan satu pulau pun hilang dari negeriku, akan kujaga ke-Bhinekaan bangsaku, NKRI
harga mati.
Satu mimpi perjalanan saya adalah bisa sampai ke tapal batas
Indonesia. Tahun 2013, akhirnya saya menginjakkan kaki di satu pulau paling depan
Indonesia, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Dari Pulau
Nunukan, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Pulau Sebatik
menggunakan speedboat. Pulau ini
berbatasan langsung dengan Malaysia. Di Sebatik terdapat lima kecamatan yang
kepemilikannya diakui oleh dua negara yakni Indonesia dan Malaysia. Keduanya sama-sama
memiliki batas darat maupun laut.
Sudut luar Indonesia ini tentu tidak lepas dari berbagai
permasalahan wilayah yang masuk dalam zona merah perbatasan. Letaknya yang berada di perbatasan menjadikan pulau ini sebagai
daerah strategis dalam peta lalu lintas antar negara. Pulau
kecil yang keberadaannya terpisah dari Kabupaten Kota Nunukan ini hendaknya menjadi
kawasan yang mendapat perhatian khusus. Peristiwa pahit yang dahulu menimpa Pulau
Sipadan dan Ligitan harusnya menjadi pelajaran penting pemerintah Indonesia
agar tidak lagi melakukan “pembiaran” wilayah perbatasan.
Masyarakat Pulau Sebatik dikenal
unik karena mempunyai dualisme kehidupan, yaitu kehidupan Indonesia dan
Malaysia. Bahkan, terdapat rumah-rumah penduduk yang berada tepat di garis
perbatasan. Kamar dan ruang tamu masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapur
dan kamar mandi masuk wilayah Malaysia. Mata uang yang beredar pun menggunakan rupiah dan ringgit Malaysia. Saya dan beberapa rekan SM-3T
lainnya menemukan banyak harga barang berlabel ringgit. Saat itu kami
berkeliling mencari oleh-oleh di sekitar Sebatik. Sayangnya para penjual lebih
suka mendapatkan ringgit daripada rupiah.
Satu keistimewaan Pulau Sebatik adalah masyarakatnya yang bisa
mengakses dua negara. Mereka cukup membayar sejumlah uang untuk mendapatkan pas
lintas batas. Pas berbeda dengan paspor, ini berlaku hanya di wilayah Malaysia
yang berbatasan langsung dengan Indonesia seperti Tawau, Sabah, dan Ba Kelalan.
Pasokan kebutuhan pokok seperti
gula, minyak goreng, dan bahan bakar kendaraan di pulau ini bergantung dari Malaysia.
Hanya pisang dan hasil kebun andalan Sebatik yang dijual di
pasar-pasar Tawau. Faktor geografis dan aksesibilitas
untuk mendapatkan produk-produk dari Malaysia membuat warga perbatasan secara
ekonomi merasa terjajah. Sebagian masyarakat lebih memilih pergi ke
Tawau ketimbang Nunukan.
Di bidang pendidikan juga demikian. Orang Sebatik lebih suka menyekolahkan
anaknya ke Malaysia daripada ke Indonesia karena biayanya lebih murah.
Selain itu, untuk anak sekolah dasar juga mendapat seragam gratis. Hal ini
tentu saja menguntungkan masyarakat Sebatik yang secara ekonomi berpenghasilan
relatif rendah, khususnya para nelayan.
Pembangunan
Sebatik tak sebanding dengan Kota Tawau, Malaysia. Tawau terang-benderang
begitu senja tiba. Sebaliknya, sebagian wilayah Sebatik masih gelap karena listrik
digunakan secara bergiliran. Pulau Sebatik yang seharusnya memiliki banyak
keunggulan sebagai “beranda” depan negara Indonesia menjadi permasalahan
penting terhadap keutuhan wilayah NKRI. Ini menjadi PR pemerintah untuk memberikan
solusi konkret masalah di wilayah perbatasan Indonesia. (*)
No comments:
Post a Comment