Breaking News

Saturday, September 26, 2015

Dualisme Kehidupan di Pulau Sebatik

oleh Anung Winahyu
 
 
Takkan setitikpun hilang dari petaku, takkan satu pulau pun hilang dari negeriku, akan kujaga ke-Bhinekaan bangsaku, NKRI harga mati.

Satu mimpi perjalanan saya adalah bisa sampai ke tapal batas Indonesia. Tahun 2013, akhirnya saya menginjakkan kaki di satu pulau paling depan Indonesia, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Dari Pulau Nunukan, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Pulau Sebatik menggunakan speedboat. Pulau ini berbatasan langsung dengan Malaysia. Di Sebatik terdapat lima kecamatan yang kepemilikannya diakui oleh dua negara yakni Indonesia dan Malaysia. Keduanya sama-sama memiliki batas darat maupun laut.
Sudut luar Indonesia ini tentu tidak lepas dari berbagai permasalahan wilayah yang masuk dalam zona merah perbatasan. Letaknya yang berada di perbatasan menjadikan pulau ini sebagai daerah strategis dalam peta lalu lintas antar negara. Pulau kecil yang keberadaannya terpisah dari Kabupaten Kota Nunukan ini hendaknya menjadi kawasan yang mendapat perhatian khusus. Peristiwa pahit yang dahulu menimpa Pulau Sipadan dan Ligitan harusnya menjadi pelajaran penting pemerintah Indonesia agar tidak lagi melakukan “pembiaran” wilayah perbatasan.
Masyarakat Pulau Sebatik dikenal unik karena mempunyai dualisme kehidupan, yaitu kehidupan Indonesia dan Malaysia. Bahkan, terdapat rumah-rumah penduduk yang berada tepat di garis perbatasan. Kamar dan ruang tamu masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapur dan kamar mandi masuk wilayah Malaysia. Mata uang yang beredar pun menggunakan rupiah dan ringgit Malaysia. Saya dan beberapa rekan SM-3T lainnya menemukan banyak harga barang berlabel ringgit. Saat itu kami berkeliling mencari oleh-oleh di sekitar Sebatik. Sayangnya para penjual lebih suka mendapatkan ringgit daripada rupiah.

Satu keistimewaan Pulau Sebatik adalah masyarakatnya yang bisa mengakses dua negara. Mereka cukup membayar sejumlah uang untuk mendapatkan pas lintas batas. Pas berbeda dengan paspor, ini berlaku hanya di wilayah Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia seperti Tawau, Sabah, dan Ba Kelalan.

Pasokan kebutuhan pokok seperti gula, minyak goreng, dan bahan bakar kendaraan di pulau ini bergantung dari Malaysia. Hanya pisang dan hasil kebun andalan Sebatik yang dijual di pasar-pasar Tawau. Faktor geografis dan aksesibilitas untuk mendapatkan produk-produk dari Malaysia membuat warga perbatasan secara ekonomi merasa terjajah. Sebagian masyarakat lebih memilih pergi ke Tawau ketimbang Nunukan.

Di bidang pendidikan juga demikian. Orang Sebatik lebih suka menyekolahkan anaknya ke Malaysia daripada ke Indonesia karena biayanya lebih murah. Selain itu, untuk anak sekolah dasar juga mendapat seragam gratis. Hal ini tentu saja menguntungkan masyarakat Sebatik yang secara ekonomi berpenghasilan relatif rendah, khususnya para nelayan.
Pembangunan Sebatik tak sebanding dengan Kota Tawau, Malaysia. Tawau terang-benderang begitu senja tiba. Sebaliknya, sebagian wilayah Sebatik masih gelap karena listrik digunakan secara bergiliran. Pulau Sebatik yang seharusnya memiliki banyak keunggulan sebagai “beranda” depan negara Indonesia menjadi permasalahan penting terhadap keutuhan wilayah NKRI. Ini menjadi PR pemerintah untuk memberikan solusi konkret masalah di wilayah perbatasan Indonesia. (*)

No comments:

Post a Comment

Designed By Published. TIM Blogger Pioneer