Breaking News

Wednesday, April 29, 2015

PAK LURAH YANG NYENTRIK

Gaya slenge’an menjadi ciri khasnya saat berlangsung pemilihan pejabat rusunawa. Namun karena gaya ini pula ia menjadi akrab dengan para penghuni rusunawa khususnya di asrama putra. Hingga pemilik nama lengkap Miftahul Khoir Abdurrahman ini didaulat menjadi Lurah di kampung barunya (asrama putra-red).
Miftah (Lurah Asrama Putra)
Mendengar pengakuannya yang bergaya bicara ceplas-ceplos, pria asli Blora  ini pernah ditegur Pak Dapan, Bapak Asrama Putra saat ada monitoring dan evaluasi (monev) dengan LPPMP. “Le, sendalmu murah yo?” tanya Pak Dapan waktu itu. Alih-alih cari aman, Miftah menjawab dengan santai. “Wah cuma punya ini pak, mau beli tapi belum gajian,” jawab dia.
Siapa sangka dibalik familiarnya Miftah, ternyata ia juga bisa serius saat-saat tertentu. Semangat juangnya tinggi dan bertekat mencapai tujuan menjadi guru profesional. Ia mengawalinya dengan mengabdi di Gayo Luwes, Aceh. Baginya hidup itu menapaki waktu, bukan melompat atau terbang. Maka hadapi yang ada di depan mata dan jangan sekali-kali larut dalam andai-andai masa lalu atau masa depan.
Buah hati pasangan Suwardi dan Siti Rodhiyah juga mempunyai cerita tentang pengalamannya berorganisasi. Semasa SMA, kata dia pernah menjabat sebagai Ketua OSIS dan aktif pula dalam kegiatan Pramuka. Dari pengalamannya ini, ia berusaha menjadi pemimpin yang mumpuni. Terlebih pria kelahiran 10 Oktober 1990 ini menjadi penyambung aspirasi ‘rakyatnya’ dengan pihak kampus. “Menjadi pemimpin bagi saya adalah sarana pertaubatan untuk merubah tingkah laku yang kurang baik,” ujar Miftah.
Sarjana Biologi lulusan Universitas Muhammadiyah Surakarta ini sangat berantusias mengeksplor ilmu-ilmu tentang alam. Ia pun memantapkannya dengan turut serta dalam Diklat Pecinta Alam Sangguru hingga membawanya pada jabatan sekertaris Federas Panjat Tebing Indonesia Cabang Sukoharjo periode 2010-2014. Tak berhenti sampai disitu Miftah juga terpilih menjadi bahan pertimbangan menjadi juri dalam kejuaraan panjat tebing di tingkat lokal maupun nasional. Kecintaannya terhadap lingkungan alam juga tak membuatnya lupa dengan kesenian. Hingga ia dinobatkan sebagai Duta Seni Kabupaten Blora tahun 2008 sampai sekarang. (Endang, Willy)
Read more ...

TERBANG KE JOHOR BERKAT SENI

Sukses bukanlah jabatan dan kekayaan, tetapi sukses adalah bila hidup bermakna bagi sesama  atas apa yang kita miliki.
 
Pak Bambang
Begitu penggalan kalimat yang menggambarkan sukses menurut Pak Bambang. Pria kelahiran Kulon Progo, 23 Juli 1961 ini mengawali karir menjadi dosen di Universitas Negeri Yogyakarta. Sejak tahun 1992 silam ia membulatkan tekad untuk meninggalkan cita-cita lama menjadi seorang polisi seperti yang diinginkan orangtuanya. Pemilik nama lengkap Bambang Saptono meyakini bahwa menjadi apapun tak masalah yang terpenting adalah dapat memberi makna bagi sesama. Tekad ini pula yang dipegang kuat-kuat hingga ia dipercaya menduduki jabatan tertinggi di UNY Kampus Wates.
 
Perawakan pria yang pernah menjadi Ketua Komisi III Senat FIP UNY ini ramah,  sehingga ia mudah beradaptasi dengan sesama. Siapa sangka, sosok berkacamata ini mempunyai hobi unik yaitu berkesenian. “Sejak kecil saya tertarik dengan kesenian Jawa. Pernah juga belajar tari dan karawitan, malahan sempat bercita-cita menjadi seniman,” ujarnya.
 
Kesenian telah mengantarkan Bambang muda terbang ke Johor, Malaysia sebagai juara tari tingkat nasional mewakili IKIP Yogyakarta saat itu. Lulusan almamater tempatnya mengabdi saat ini dulunya menempuh pendidikan jurusan filsafat dan sosiologi pendidikan pada 1985 silam. Hobi berkesenian diasahnya dengan maksimal saat ia duduk di bangku kuliah. Bapak dua anak ini juga aktif berorganisasi di kampus, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua UKM Seni Tari dan Karawitan. Tak hanya itu, organisasi lain pun ditaklukannya dengan menjadi sekretaris Senat Mahasiswa FIP dan Ketua HIMA.
 
Dari kesuksesannya saat ini, siapa yang menyangka kalau Bambang dibesarkan dari keluarga yang sederhana. Sang ayah hanyalah lulusan Sekolah Rakyat (SR) yang setara dengan Sekolah Dasar (SD) saat ini. Mengagumi sang ayah adalah salah satu bentuk pengabdiannya sebagai seorang anak.
 
Kata dia, meski ayahnya hanya lulusan SR namun bisa mencapai pangkat Mayor Polisi, bahkan menjadi anggota DPRD selama dua periode. Semangat, kerja keras, kejujuran, dan kedisiplinan yang tinggi dari sosok ayah menginspirasinya untuk terus memberi manfaat bagi orang lain.
 
Inspirasi itu pula yang ingin ia tularkan kepada anak-anaknya di Kampus Wates. Apalagi bagi para peserta PPG yang saat ini sedang menempuh pendidikan. Para sarjana yang tergabung dalam SM-3T disebutnya sebagai pengajar muda.
 
“Saya acungi jempol setinggi-tingginya bagi mahasiswa yang ikut SM-3T. Dialah pejuang pendidikan yang rela mengorbankan jiwa, raga, dan keluarga demi mencerdakan anak-anak bangsa. Semangat inilah yang harus dikobarkan didada anak muda,” kata dia.
 
Pengalaman panjang membuatnya tahu betul bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Kepada Pioneer, Pak Bambang memberikan wejangan bagaimana mengelola suatu masalah, mengingat hidup bersosial tak akan lepas dari perbedaan cara pandang. Kata dia, tidak ada yang sempurna dalam kehidupan di dunia. Kekurangan dan kesalahan yang telah diperbuat tak lantas menjadikan kita frustasi dan tidak mau belajar. Mengakui kesalahan dan memperbaiki diri adalah kunci mencapai sukses. (Endang, Willy)
Read more ...

Tuesday, April 28, 2015

RUMAH KERUCUT DI WAEREBO

Oleh: Fitriyani N.

Topi ulang tahun, itulah yang sekiranya dapat menggambarkan bentuk rumah Waerebo. Beberapa bangunan tradisional dari kayu ini dipertahankan penduduk untuk melestarikan kampung mereka. Meski hanya ada tujuh rumah (Wbaru Niang) namun tempat ini sudah dikenal hingga mancanegara sebagai Kampung Adat Waerebo.

Lokasinya ada di Kecamatan Satar Messe Barat, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Kampung yang menjadi warisan budaya ini telah ditetapkan UNESCO sebagai daerah konservasi. Karena lokasinya yang berada di lembah pegunungan dengan ketinggian 1.117 mdpl maka butuh sedikit perjuangan untuk sampai di sana.

Wisatawan baik lokal maupun mancanegara harus menghabiskan waktu berkendara selama tiga jam lamanya dari Ruteng, Ibukota Manggarai sampai di desa terakhir yaitu Denge. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh sembilan kilometer. Karena perjuangan inilah kampung in menjadi tidak biasa. Bahkan anak-anak disana harus berjalan kaki sejauh sembilan kilometer untuk sampai di sekolah.

Lelah akan berubah menjadi berkah saat mata dimanjakan dengan pesona alam yang menyambut kedatangan para pengunjung. Melihat uniknya bentuk rumah adat ini tentu mengingatkan kita pada keberagaman Indonesia yang tak terhitung banyaknya.

Rumah Adat Waerebo
Tak seperti kampung pada umumnya, Waerebo hanya didiami oleh beberapa penduduk saja. Rumah mereka ditata mengelilingi lingkaran batu yang membentuk altar (Compang). Pada titik ini penduduk meyakini sebagai paling sakral. Biasa digunakan untuk tempat pemujaan dan penyembahan kepada Tuhan dan leluhur.

Susunan rumah adat Waerebo terdiri dari lima lantai. Uniknya nampak dari luar adalah sebuah kerucut yang melingkar rapi di lembah hijau. Pendudukan setempat memanfaatkan lantai dasar untuk aktivitas sehari-hari seperti tidur, memasak, dan makan bersama. Kemudian di atasnya mulai dari lantai dua sampai lima digunakan untuk menyimpan bahan makanan.

Uniknya lagi konstruksi bangunan ini tidak menyandarkan pada kekuatan kawat maupun paku. Semua bahan bangunannya berasal dari hutan di sekitar kampung. Atapnya menggunakan rumput ilalang. Agar lebih kokoh bangunan ini hanya perlu diasapi saja. Itulah rumah adat Waerebo. (*)

Read more ...

PELAJARAN DARI ORANG-ORANG PIAN PASIR

Oleh: Dona Priyatna

doc. pribadi
Ibu...
Tak terasa kurang lebih sebulan lagi aku selesai tugas di sini. Di Dusun Pian Pasir, Pulau Mubur, Kabupaten Kepulauan Anambas. Sedikit, aku ingin bercerita tentang tempat pengabdianku ini. Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, daerah yang sebagian besar wilayahnya adalah lautan dengan panorama alam nan indah. Terumbu karang, biota bawah laut, dan kekayaan alam pun melimpah ruah. Namun, kekayaan itu tak serta merta menjadikan masyarakatnya sejahtera. Tak sedikit desa yang masih tanpa listrik dan pasokan minyak pun langka.

Ibu...
Pendidikan di sini juga masih memperihatinkan. Disaat gedung-gedung baru siap berdiri dan buku-buku sudah didistribusikan, kekurangan guru masih saja terjadi. Tak seperti di kota yang transportasinya lancar, di sini siswa dan guru harus menyeberang laut untuk menuju  ke sekolah. Kala hujan dan badai datang, tak jarang sekolah diliburkan untuk meminimalisir risiko kecelakaan laut.

doc. pribadi
Aku mulai bertugas di akhir September 2013 lalu bersama kawan-kawan SM-3T yang lain. Ditempatkan di SMA yang baru dibuka untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak Pian Pasir.

Disini kami disambut sangat baik oleh masyarakat setempat. Sejak awal kedatangan bahkan sampai saat ini pun kami masih disambut sangat baik. Mereka sangat hangat, selalu ramah menyapa anakmu ini. Mengajak kami mampir di rumah mereka dan tak sungkan bercanda ria. Mereka berbicara dengan Bahasa Melayu, mirip ketika kita menonton serial anak karya negara tetangga. Pada zaman dulu, orang-orang di sini memang sering pergi ke Malaysia menggunakan perahu.

Masyarakat Pian Pasir kebanyakan adalah nelayan, pemecah batu, dan penambang pasir tradisional. Anak-anak juga sudah sangat terbiasa dengan laut, karena sebagian besar wilayah geografis Anambas adalah lautan. Laut bukan hanya menjadi teman, tapi sudah seperti saudara yang tiap hari kami peluk. Rumah-rumah yang berada di pesisir dan tepat di atas air laut menjadi keunikan tersendiri.

Awal kedatangan anakmu disini memang agak kikuk. Kondisi yang sangat jauh berbeda dengan daerah asal harus disesuaikan terlebih dahulu. Selain tidak adanya listrik, sinyal telepon yang kadang luplep karena ada gangguan pada tower sering membuat kami bingung saat ingin berkomunikasi dengan saudara atau teman. Tapi, karena pulau tempat tugasku berhadapan dengan Pulau Tarempa (kota), kami masih bisa menggunakan internet, walaupun harus rela diam di tempat yang agak menjorok ke laut. Kami menyebutnya pelabuhan sinyal.

Kondisi ini membuat kami banyak belajar tentang makna kesederhanaan, syukur, dan pantang menyerah. Menemui orang-orang baru dengan berbagai karakter, menjalin hangatnya persahabatan dan persaudaraan, mengenali kearifan budaya lokal, sampai pada kebiasaan masyarakat memancing di laut lepas.

Ibu...
Setahun menjadi orang Pian Pasir, aku jadi belajar menjadi guru yang baik untuk anak-anak. Aku ajari mereka melakukan upacara bendera dan berbicara Bahasa Inggris. Balasan mereka adalah mengajariku memancing di laut lepas, menjaring ikan di karang sampai ikut bekerja dengan nelayan setempat.

Disini semangat kekeluargaan dan gotong royong masih sangat kuat. Saat ada acara pernikahan, pemasangan tenda, memasak, sampai pembuatan panggung hiburannya, semua saling membantu. Aku juga terlibat dalam proses gotong royong perataan lahan untuk pembangunan SMA Mubur. Semua anggota masyarakat senantiasa gotong royong tanpa pamrih. Lahan yang sangat miring pun berangsur-angsur menjadi kokoh karena kekuatan gotong royong tersebut.

Ibu pertiwi...
Terimakasih telah mengenalkanku dengan salah satu daerah yang kau punya. Seperti yang sering kau ajarkan, pendidikan adalah hak semua warga negara. Tak hanya masyarakat kota, masyarakat di daerah terdepan pun memiliki hak sama untuk mendapatkannya.

Terimakasih juga telah mengenalkanku pada orang-orang di Kepulauan Anambas. Di sini aku tidak hanya mengajar, tapi aku pun banyak belajar dari mereka. Pelajaran mahal tentang kekeluargaan, kebersaman, kesederhanaan, dan rasa syukur yang harus kami lantunkan pada Pemilik alam. (*)
Read more ...

UN BUKAN LAGI PENENTU KELULUSAN

Oleh: Fitri Nurhayati

doc. pribadi
Entah menjadi angin segar atau malah menjadi bumerang bagi dunia pendidikan di Indonesia, pada penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) tahun ini, setiap sekolah diberi kebebasan untuk menentukan kelulusan para siswanya sendiri. UN tidak lagi menjadi syarat utama atau syarat mutlak kelulusan siswa pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SMP, dan SMA).

Berdasarkan Permendikbud No. 5 Tahun 2015 Pasal 4 ayat 1 tentang kelulusan peserta didik, kriteria kelulusan siswa untuk semua mata pelajaran diperoleh dari gabungan rata-rata nilai UN dan nilai rapor dengan rasio 30 berbanding 70 persen. Artinya, sekolah diberi keleluasan lebih untuk mengevaluasi hasil belajar siswanya sendiri. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan, pernah menyampaikan bahwa kebijakan UN yang dibuat kali ini lebih menekankan pada nilai kejujuran, bukan semata pada tingkat kelulusan siswa saja.

Apa yang disampaikam Mendikdasmen tadi juga disampaikan oleh Muhammad Nursa’ban, M.Pd dosen Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Beliau mengatakan bahwa kelulusan siswa ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rapat dewan guru. “Ketentuannya sudah ada dalam peraturan menteri yang baru,” kata dia.

Kebijakan ini dirasa logical mengingat guru adalah sosok yang paling mengetahui bagaimana perkembangan seorang peserta didik selama mengikuti proses belajar di sekolah. Oleh sebab itu, guru lah yang mestinya paling berhak menentukan kelulusan siswa.

Akan tetapi, kebijakan seperti ini tidak serta merta efektif karena sangat dekat dengan berbagai praktik kecurangan. Proses pembelajaran pun sering terabaikan karena sekolah justru lebih mementingkan nilai akhir yang merupakan hasil ‘dongkrak’ sana-sini.

Drs. Indra Suwarna (guru SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta-red) menambahkan bahwa beliau tidak setuju dengan kebijakan yang menyatakan bahwa nilai UN SMA hanya akan digunakan sebagai pertimbangan masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Padahal, tidak semua siswa SMA ingin masuk PTN. Bisa jadi mereka berencana melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang mereka inginkan. Oleh sebab itu, nilai UN seharusnya tidak menjadi bahan pertimbangan masuk PTN meski siswa yang bersangkutan memperoleh nilai UN yang tinggi.

Pada praktiknya, sekolah-sekolah tetap melakukan persiapan untuk menghadapi UN, salah satunya SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta. “Sekolah kami masih melakukan pendalaman materi mapel UN, seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami menerapkan metode belajar yang menyenangkan. Guru hanya sebatas menemani siswa belajar,” ujarnya. Pembelajaran yang terlalu kaku dan serius malah bisa menjadi bumerang bagi siswa. Pada saat UN, otak mereka malah bisa overload dengan soal-soal akibat akumulasi belajar yang terus-menerus.

Seperti halnya SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, MAN Ende Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga melakukan persiapan dengan memfokuskan mapel UN pada kegiatan belajar pagi hari, diteruskan dengan tambahan jam belajar di sore hari. Persiapan mental pun dilaksanakan melalui muhasabah bersama. Selain itu, sekolah juga memberikan try-out secara berkala untuk mengetahui kesiapan siswa dalam menghadapi UN.

Seorang siswi MAN Ende, Putri, mempunyai tanggapan sendiri tentang UN. Menurutnya, kebijakan baru di atas sebetulnya menjadi satu kesempatan emas baginya untuk lulus dari jenjang SMA. Namun, ia juga berujar bahwa standar penentuan kelulusan berdasarkan nilai UN tahun lalu sangatlah tidak adil.

Tim redaksi Buletin Pioneer berhasil menelusuri curahan hati Putri. Menurutnya, para gurulah yang seharusnya menentukan kelulusan siswa karena mereka yang setiap hari berinteraksi langsung dengan para siswa selama di sekolah. Guru lebih mengetahui perkembangan siswa di sekolah. Tidaklah adil jika kelulusan siswa ditentukan hanya dalam kurun waktu tiga hari. Apalagi soal-soal yang dijadikan standar kelulusan berupa pilihan ganda, jadi masih ada faktor keberuntungan di dalamnya.
Read more ...

Monday, April 27, 2015

KAMI INGIN TERUS BERSEKOLAH

Oleh: Firdaus Laili
(dari pedalaman Bumi Kalimantan)

Perkenalkan nama kami Ismael, Enos, Apriansyah, dan Oki. Kami adalah siswa SMP Negeri 2 Mentarang Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara. Kami adalah anak-anak asli suku dayak Punan. Kami tinggal di sebuah desa yang sangat jauh dari perkotaan. Desa kami ada di tengah-tengah hutan Kalimantan yang sangat luas. Sungai adalah tempat bermain kami sehari-hari. Seminggu sekali kami ikut orang tua kami berburu di hutan. Setahun sekali orang tua kami mengajak kami ke kota. Melihat apapun yang tidak pernah kami lihat di desa kami.

SM3T UNY
Kami bersama Guru SM3T asal UNY Yogyakarta
Yang di tengah-tengah kami adalah guru SM3T yang datang dari Jogja. Ada lima guru SM3T dari Jawa yang datang ke desa kami. Kami sangat senang mereka datang. Sekolah kami jadi hidup lagi. Tak ada lagi kelas kosong karena tak ada gurunya. Ruang-ruang kelas kembali diramaikan dengan suara para bapak guru dan suara-suara kami yang penuh pertanyaan. Kami jadi bersemangat lagi mengenakan pakaian putih biru setiap pagi datang. Kami juga jadi punya kegiatan setiap sore menjelang.

Mereka mengajari kami banyak hal, tak hanya pelajaran-pelajaran di sekolah. Mereka mengajari kami pramuka. Mereka mengajari kami karya ilmiah. Mereka mengajari kami Bahasa Inggris. Mereka mengajari kami bermain sepakbola. Mereka mengajari kami membaca peta dunia. Mereka mengajari kami melaksanakan upacara bendera. Mereka mengajari kami menari dan bernyanyi. Banyak hal yang mereka ajarkan yang sebelumnya tak pernah kami pelajari.

Kedatangan guru-guru SM3T membuat kami kembali punya semangat untuk belajar. Mereka membuat kami semakin ingin tahu banyak hal. Mereka membimbing kami melakukan hal-hal baru. Mereka menuntun kami memasuki dunia baru. Mereka selalu terbuka untuk kami. Tak hanya di sekolah, di luar sekolah pun mereka tak pernah enggan untuk mengajari kami. Tak jarang kami datang ke rumah mereka malam-malam untuk belajar. Meski hanya diterangi lampu minyak, semangat kami tak pernah pudar.

Kini mereka sudah pulang ke Jawa. Satu tahun terasa begitu cepat. Untuk Pak Presiden atau siapapun itu di luar sana, tolong kirimkan lagi guru ke sekolah kami. Kami tak ingin sekolah kami kembali sepi. Kami ingin terus ada yang mengajari kami. Meski kami ada di pelosok negeri, tapi kami juga anak bangsa. Kami anak Indonesia. Kami berhak atas pendidikan yang layak. Kami ingin terus bersekolah. Kami tidak ingin seperti orang tua kami yang tidak bisa membaca. Kami tidak ingin seperti orang tua kami yang mengisi hari-hari mereka hanya dengan berburu di hutan. Kami juga ingin masa depan yang cerah, seperti anak-anak lain yang ada di kota.

Salam kenal,
Ismael, Enos, Apriansyah, dan Oki 
Read more ...
Designed By Published. TIM Blogger Pioneer