Profesi tertua yang mengiringi perkembangan peradaban manusia di muka bumi adalah guru. Hingga sekarang profesi ini tetap eksis dan terus berkembang. Daud Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia juga pernah berujar bahwa di dunia ini hanya ada dua profesi, yaitu guru dan selain guru (dokter, pengacara, akuntan, arsitek, dll). Ini mengisyaratkan bahwa menjadi guru berarti sudah mengambil setengah dari segenap profesi yang ada di dunia.
Profesi guru tidak hanya diminati oleh mereka yang berlatarbelakang pendidikan saja. Banyak sarjana non kependidikan yang pada akhirnya ikut menceburkan diri dalam dunia pendidikan. Satu di antaranya adalah tenaga pengajar pada pendidikan non formal seperti bimbingan belajar (bimbel). Ini menandakan selain eksis, profesi guru memang paling efektif untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Munculnya bimbingan belajar memang membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun hal ini juga memicu pertanyaan tentang kualitas pendidikan di sekolah formal. Bisa jadi para siswa yang belajar ke bimbel adalah untuk memperdalam materi pelajaran yang didapatnya di sekolah. Namun bisa pula dikarenakan pembelajaran di sekolah belum mampu dipahaminya dengan baik. Permasalahan kedua ini yang sepertinya perlu dianalisis bersama dengan kemunculan bimbel.
Apabila dilihat dari sudut pandang lain, bimbel juga menguntungkan banyak pengusaha. Baik mereka yang berlatar belakang pendidikan, maupun non kependidikan. Saat ini kemunculan bimbel seolah menjadi ajang bisnis yang marak di Indonesia. Meski tak bisa dipungkiri bahwa di sisi lain juga membawa kebermanfaatan.
Di era global yang penuh transparansi dan keterbukaan seperti sekarang, pendidikan menjadi sasaran bisnis yang empuk. Namun hal ini tak akan menjadi persoalan besar selama ghiroh pendidikan masih terjaga. Ki Hadjar Dewantara pernah menyampaikan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia.
Mencoba melihat sudut pandang dari pengusaha, bahwa pendidikan adalah hal yang menguntungkan. Bisnis pada akhirnya dinilai dengan kemampuan seseorang untuk mengembangkan pendidikan yang telah didapatnya. Akhirnya ilmu yang paling mahal adalah mencoba bisnis itu sendiri.
M. Suyanto, pendiri STIMIK Amikom Yogyakarta mengibaratkan bahwa memulai bisnis itu seperti sekolah atau kuliah. Apabila merugikan maka sama halnya dengan mahasiswa membayar SPP kuliah, sedangkan kalau menguntungkan itu berarti mendapat beasiswa. Keuntungan tidak akan diperoleh apabila tidak mencoba. Maka disitulah pendidikan membawa kebermanfaatan bagi pebisnis yang sedang melanggengkan usaha.
Meski mampu mendirikan kampus, mengajar, dan pernah menjadi guru namun Suyanto muda bukanlah sarjana pendidikan. Maka disitulah pendidikan telah mengantarkannya berkecimpung dalam dunia pendidikan. Terlebih saat ini, Indonesia sedang gencar mempersiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi pasar bebas. Pebisnis yang menguasai pendidikan pun sangat dibutuhkan. Indonesia masih banyak membutuhkan entrepreneur untuk bisa terus mengembangkan pendidikannya.
“Pendidikan kita dapat dipakai sebagai senjata untuk memulai bisnis,” ujarmya.
Menurut Suyanto, ketika ia diterima di FMIPA Fisika Universitas Gadjah Mada, itu berarti ia telah mempunyai bekal ilmu untuk memulai bisnis. Ia bergabung dengan kawan-kawannya dan menciptakan peluang bisnis berupa bimbingan belajar. Persaingan terbuka saat ini tidak hanya memberikan tempat bagi para ahli (highly skilled), namun juga bagi mereka yang mempunyai attitude. (Amin)
No comments:
Post a Comment