Baru kali ini sepanjang sejarah, Indonesia menerapkan dua kurikulum dalam waktu yang bersamaan. Meski dengan alasan logis, bahwa ada perbedaan kesiapan di beberapa sekolah, namun hal ini terkesan rancu. Kurikulum 2013 (K13) dirancang istimewa seolah diperuntukkan bagi kalangan istimewa pula. Adalah mereka yang sudah dianggap siap dengan tantangan zaman yang menerapkan K13. Sedang Kurikulum 2006 diperuntukkan bagi sekolah dengan kalangan ‘lama’ yang notabene belum siap dengan perubahan.
Wacana tentang kurikulum tidak akan basi untuk dibahas selama pendidikan belum mencapai kata layak. Ini baru analisa yang paling mendasar dari sistem yang menjadi garda depan proses pembelajaran. Belum lagi dengan persaingan zaman di luar sana yang memaksa siapa pun untuk selalu siap, termasuk kepada sekolah dengan kurikulum lama.
Baru-baru ini ramai dibahas tentang persiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Beberapa lini sedang gencar memantaskan diri untuk bisa bersaing dalam pasar bebas se-Asia Tenggara, termasuk lini pendidikan.
Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia menjadi masalah rumah tangga yang semestinya sudah selesai jauh-jauh hari sebelum dilancarkannya MEA. Guru Besar Fakultas Ekonomi UNY, Prof. Suyanto, Ph.D dalam seminarnya pernah menyampaikan tantangan guru menuju MEA. Menurutnya, secara internal Indonesia seharusnya memiliki daya saing dan produktivitas tinggi. Sumber daya manusianya juga dituntut memiliki spesialisasi, kompetensi, etos kerja, kultur, dan produktivitas yang tinggi pula. Sedangkan secara eksternal, harus ada pemenuhan komitmen terhadap roadmap menuju MEA 2015 baik secara individu maupun kolektif di ASEAN.
Melihat orientasi MEA yang lebih mengarah pada hasil finansial, tentu tak sejalan dengan konsep pendidikan Indonesia yang berpegang teguh pada pembangunan karakter. Kurikulum 2013 gencar menyuarakan pembentukan karakter bagi peserta didik, namun sudahkah sejalan dengan persiapan menghadapi persaingan secara internasional? Pertanyaan ini seharusnya menjadi refklesi tersendiri dalam dunia pendidikan.
Satu hal yang menjadi kekhawatiran nantinya adalah tenaga kerja profesional ASEAN yang bisa membanjiri pasar tenaga kerja Indonesia. Hal ini akan semakin menggerus posisi tenaga pendidik dalam negeri. Sedang tenaga profesional Indonesia akan memilih pasar luar negeri yang lebih menjanjikan.
“Saat ini kondisi Indonesia terbilang lemah dalam daya saing nasional, apalagi nanti secara internasional. Begitu juga dengan kesiapan teknologi nasional yang masih rendah pula,” kata Prof. Suyanto, Ph.D.
Dr. Paidi, Dosen FMIPA UNY dalam kuliah umumnya (29/5) mengatakan saat ini sistem pendidikan Indonesia lebih menekankan higher order thinking skill. Dikatakan bahwa kondisi pendidikan Indonesia masih sangat kurang dalam foundational knowledge, berpikir tidak kreatif (konvergen), dan masih mudah dipengaruhi.
Kondisi ini akan menjadi persaingan bagi para pendidik profesional. Saat ini, di dalam negeri pun sudah terjadi antrean panjang untuk mengisi kekosongan tenaga pendidik. Setelah pasar bebas ASEAN dibuka secara resmi, tentu daftar antrean panjang tenaga pendidik akan bertambah. Berbagai kemungkinan akan terjadi. Jangan sampai Indonesia kembali ‘bekerja di rumah sendiri’ seperti yang terjadi pada awal abad 20. (Pipit)
No comments:
Post a Comment