oleh Achmad Faisal A
Sebuah isu yang telah santer diperbincangkan selama lebih dari satu dekade terakhir dimana Indonesia dikabarkan akan memberlakukan pasar bebas yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) ternyata bukanlah sekadar ‘dongeng’ semata. Ini terbukti, sesuai dengan kesepakatan negara-negara ASEAN bahwa MEA akan diberlakukan mulai akhir tahun 2015. Dalam realisasinya nanti MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional. Berbagai profesi nantinya boleh diisi oleh tenaga kerja asing. Hal ini dikarenakan MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. Ada 12 sektor yang disepakati di dalam MEA yaitu sektor jasa meliputi lima sektor, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, telematika, dan transportasi udara, sedangkan sektor produk meliputi pertanian, perikanan, karet, kayu, otomotif, elektronik dan tekstil. Untuk tenaga kerja profesi pendidik tidak dicantumkan di dalam kesepakatan karena belum siap menghadapi persaingan.
Bagi para tenaga pendidik atau guru khususnya di Indonesia mungkin kabar tersebut sedikit melegakan. Mereka tidak perlu ikut bersaing dengan para pendidik dari negara-negara tetangga. Bersaing dengan para pendidik di negeri sendiri saja rasanya sudah sangat berat, apalagi kalau harus ditambah dengan para pendidik dari luar negeri. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah siapa yang mendidik insinyur, perawat, dokter, akuntan dan yang lainnya yang nanti akan bersaing dengan tenaga kerja profesional dari luar? Sudah barang tentu setiap orang akan menjawab, guru atau pendidik. Dari pertanyaan tersebut bisa disimpulkan bahwa tugas dan tanggung jawab seorang tenaga pendidik atau guru tidak akan semudah sebelumnya. Tugas guru sebagai ujung tombak sistem pendidikan akan jauh lebih kompleks ke depannya menjelang diberlakukannya MEA.
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, pepatah ini menggambarkan begitu besarnya peran pendidik dalam menentukan seperti apakah nantinya lulusan yang akan dihasilkan. Jika guru tidak memiliki profesionalitas baik, maka akan tercipta generasi yang jauh lebih jelek dari sebelumnya. Begitu juga sebaliknya, jika guru memiliki profesionalitas baik, maka akan tercipta generasi yang jauh lebih maju dibandingkan sebelumnya. Untuk membentuk tenaga kerja pendidik yang profesional bukanlah perkara mudah dan membutuhkan waktu yang lama.
Sementara ini Pendidikan Profesi Guru (PPG) masih menjadi satu tolak ukur dan sarana untuk mencetak guru profesional. Dalam mencetak pendidik atau guru profesional sebaikya tidak hanya dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan pedagogik berdasarkan bidang keilmuannya saja. Karena hal itu seharusnya sudah diberikan ketika mereka belajar di perguruan tinggi. Akan lebih baik seandainya PPG juga dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan lain, sehingga mampu mencetak lulusan yang berkarakter dan siap menciptakan lapangan kerja. (*)
No comments:
Post a Comment