Breaking News

Saturday, September 26, 2015

Hakikat Kemerdekaan dalam Refleksi Pendidikan


 
Kemerdekaan bukan hanya dimaknai dengan lepasnya bangsa Indonesia dari keterjajahan bangsa asing. Tetapi, lebih dari itu, kemerdekaan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi seluruh rakyatnya yakni terbebas dari segala bentuk eksploitasi, kebodohan, dan ketidakadilan.
Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan mendefinisikan format manusia merdeka adalah mereka yang hidupnya tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Jadi, ketika rakyat Indonesia belum dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia merdeka, maka bangsa Indonesia belum bisa dikatakan merdeka.
Sejarah membuktikan bahwa pendidikan memberikan kontribusi yang besar dalam lahirnya kemerdekaan. Melalui pendidikan, tokoh seperti R.A Kartini, R. Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara menanamkan jiwa dan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Pada masa perang kemerdekaan dan revolusi mereka tidak hanya sekadar berorganisasi atau menjadi aktivis, tetapi juga memiliki strategi untuk membangun kekuatan bersenjata. Para tokoh itu membangun visi dan misi pendidikan untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan.
Berbeda dengan sekarang, model pendidikan untuk menumbuhkan jiwa kebangsaan dan perasaan merdeka seakan dicabut dari akar tonggaknya. Pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan. Bahkan, pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekaan dan memberdayakan pelajar. Wajar jika spirit kemerdekaan, kebebasan, dan pencerahan sulit ditemukan dalam sistem dan praktik pendidikan saat ini. Tidak ada ruang dan waktu untuk terjadinya liberasi yang mendorong sikap mental para pelajar untuk menjadi manusia merdeka.
Belum lagi, biaya pendidikan yang kian mahal dan hampir tak terjangkau oleh rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi misalnya, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang sekaligus menjauhkan diri dari sosial masyarakat. Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan murah, baik, dan berkualitas belum dapat terwujud.
Bangsa ini seharusnya membentuk spirit kemerdekaan untuk merancang pendidikan berjiwa merdeka. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan bisa diwujudkan dalam dua hal. Pertama, dalam sistem pendidikan yang diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan egalitarianisme. Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam proses pembelajaran, interaksi antara siswa dengan guru, sesama guru, dan antar siswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog, presentasi, pelajaran yang interaktif, partisipatoris, penilaian yang transparan, dll.
Pendidikan juga perlu menanamkan sikap kritis pada anak didik sehingga terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan pada eranya, berani membicarakan masalah lingkungan dan ikut mencarikan solusi. Spirit kemerdekaan dan pendidikan kritis akan menumbuhkan curiousity intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik. Mereka akan mampu melakukan transformasi diri menjadi orang-orang merdeka, lantaran institusi pendidikan dan lingkungan mampu memberikan iklim yang kondusif. (*)

 

oleh Amin Fitriyah
Read more ...

Pulau Surga Di Bumi Cenderawasih

oleh William Adri Sigarlaki

Tanah Papua, tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah, sebanyak madu adalah harta harapan…
 
 
Sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan oleh putra Papua, Edo Kondologit. Lagu ini menggambarkan keindahan bumi cenderawasih yang telah tercatat sebagai taman nasional di Indonesia. Konon surga kecil ini juga tercatat sebagai 10 perairan terbaik dunia.
Saya teringat kisah pengabdian sebagai guru SM-3T dari Universitas Negeri Manado yang ditugaskan mengajar di Papua. Tepatnya di Provinsi Papua Barat, Kabupaten Sorong Selatan, Distrik Inanwatan bersama rekan lain dari Universitas Negeri Malang dan Gorontalo. Tak pernah terbayangkan saya bisa menginjakkan kaki di pulau yang dikenal dengan cenderawasihnya ini.
SM-3T mengenalkan saya dengan keindahan Indonesia lebih dekat. Saya berkesempatan menengok eksotisme pulau yang menjadi incaran turis lokal maupun mancanegara, Kepulauan Raja Ampat. Bak lukisan alam, Raja Ampat menjadi kado terindah atas pengabdian saya selama setahun.
Waktu itu saya bersama delapan teman mengunjungi wisata alam Raja Ampat. Perjalanan dimulai dari kota Sorong menggunakan kapal dengan menempuh waktu hampir empat jam. Lelah sedikit terbayarkan saat kapal berlabuh di Waisai. Aroma surga sudah mulai tercium di balik awan yang membiru cerah. Disitu pula hati menjadi takjub atas indahnya ciptaan Tuhan yang ada dihadapan kami.
Pulau-pulau kecil seperti menyuarakan selamat datang kepada kami. Pasir putihnya nampak halus seperti tepung yang baru saja digiling. Ini tidak sekadar lukisan datar, tapi karya sekian dimensi yang dapat kami sentuh seutuhnya. Air laut nampak biru dengan degradasi putih akibat deburan ombak di permukaan pantai yang tenang. Sedang perbukitan nan cantik menjadi pelengkap topografi yang tidak rata di Indonesia bagian timur.
Satu dari banyak pulau yang menghipnotis saya adalah Pulau Arborek. Disana merupakan tempat berkumpulnya ikan-ikan jenis Nemo yang sangat bersahabat dengan para penyelam. Tak heran banyak wisatawan yang mewajibkan diri untuk diving ataupun snorkeling disini. Flora-faunanya indah, mereka hidup dan mati sesuai dengan kehendak alam. 
Raja Ampat tidak hanya kaya dengan taman laut, tapi juga menyuguhkan peninggalan sejarah seperti yang ada di Pulau Misool. Disana ditemukan cap tangan pada dinding-dinding batu karang. Para ahli memperkirakan usianya telah mencapai 50 ribu tahun  dan dijadikan bukti jalur penyebaran manusia dari kawasan barat nusantara menuju Papua dan Melanesia.
Wisatawan juga bisa mengunjungi bangkai pesawat bekas peninggalan Perang Dunia II di Pulau Wai. Akses menuju tempat ini tidaklah sulit, karena di tempat ini sering diselenggarakan sail. Inilah pesona Raja Ampat, pulau surga di bumi Cenderawasih. (*)
Read more ...

Dualisme Kehidupan di Pulau Sebatik

oleh Anung Winahyu
 
 
Takkan setitikpun hilang dari petaku, takkan satu pulau pun hilang dari negeriku, akan kujaga ke-Bhinekaan bangsaku, NKRI harga mati.

Satu mimpi perjalanan saya adalah bisa sampai ke tapal batas Indonesia. Tahun 2013, akhirnya saya menginjakkan kaki di satu pulau paling depan Indonesia, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Dari Pulau Nunukan, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Pulau Sebatik menggunakan speedboat. Pulau ini berbatasan langsung dengan Malaysia. Di Sebatik terdapat lima kecamatan yang kepemilikannya diakui oleh dua negara yakni Indonesia dan Malaysia. Keduanya sama-sama memiliki batas darat maupun laut.
Sudut luar Indonesia ini tentu tidak lepas dari berbagai permasalahan wilayah yang masuk dalam zona merah perbatasan. Letaknya yang berada di perbatasan menjadikan pulau ini sebagai daerah strategis dalam peta lalu lintas antar negara. Pulau kecil yang keberadaannya terpisah dari Kabupaten Kota Nunukan ini hendaknya menjadi kawasan yang mendapat perhatian khusus. Peristiwa pahit yang dahulu menimpa Pulau Sipadan dan Ligitan harusnya menjadi pelajaran penting pemerintah Indonesia agar tidak lagi melakukan “pembiaran” wilayah perbatasan.
Masyarakat Pulau Sebatik dikenal unik karena mempunyai dualisme kehidupan, yaitu kehidupan Indonesia dan Malaysia. Bahkan, terdapat rumah-rumah penduduk yang berada tepat di garis perbatasan. Kamar dan ruang tamu masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapur dan kamar mandi masuk wilayah Malaysia. Mata uang yang beredar pun menggunakan rupiah dan ringgit Malaysia. Saya dan beberapa rekan SM-3T lainnya menemukan banyak harga barang berlabel ringgit. Saat itu kami berkeliling mencari oleh-oleh di sekitar Sebatik. Sayangnya para penjual lebih suka mendapatkan ringgit daripada rupiah.

Satu keistimewaan Pulau Sebatik adalah masyarakatnya yang bisa mengakses dua negara. Mereka cukup membayar sejumlah uang untuk mendapatkan pas lintas batas. Pas berbeda dengan paspor, ini berlaku hanya di wilayah Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia seperti Tawau, Sabah, dan Ba Kelalan.

Pasokan kebutuhan pokok seperti gula, minyak goreng, dan bahan bakar kendaraan di pulau ini bergantung dari Malaysia. Hanya pisang dan hasil kebun andalan Sebatik yang dijual di pasar-pasar Tawau. Faktor geografis dan aksesibilitas untuk mendapatkan produk-produk dari Malaysia membuat warga perbatasan secara ekonomi merasa terjajah. Sebagian masyarakat lebih memilih pergi ke Tawau ketimbang Nunukan.

Di bidang pendidikan juga demikian. Orang Sebatik lebih suka menyekolahkan anaknya ke Malaysia daripada ke Indonesia karena biayanya lebih murah. Selain itu, untuk anak sekolah dasar juga mendapat seragam gratis. Hal ini tentu saja menguntungkan masyarakat Sebatik yang secara ekonomi berpenghasilan relatif rendah, khususnya para nelayan.
Pembangunan Sebatik tak sebanding dengan Kota Tawau, Malaysia. Tawau terang-benderang begitu senja tiba. Sebaliknya, sebagian wilayah Sebatik masih gelap karena listrik digunakan secara bergiliran. Pulau Sebatik yang seharusnya memiliki banyak keunggulan sebagai “beranda” depan negara Indonesia menjadi permasalahan penting terhadap keutuhan wilayah NKRI. Ini menjadi PR pemerintah untuk memberikan solusi konkret masalah di wilayah perbatasan Indonesia. (*)
Read more ...

Thursday, July 23, 2015

PAK DAPAN CINTA DENGAN OLAHRAGA SEJAK KECIL

Menjadi yang kedua bukan berarti buruk, meski semua orang berharap untuk menjadi yang pertama.  Seperti tamu Pioneer kali ini yang mengangkat profil tentang orang kedua di UNY Kampus Wates, Drs. Dapan, M.Kes. Berada di posisi kedua inilah, sang tokoh menjadi dekat dengan mahasiswa. Buletin Pioneer berhasil menelusurinya untuk edisi kedua ini. 

Di usianya yang tak lagi muda, bapak tiga anak ini nampak selalu energik. Kesehariannya tak lepas dari aktivitas olahraga, terlebih ia memang berkecimpung dalam bidang yang sama. Pak Dapan, sapaan akrabnya gemar bermain tenis lapangan. Bahkan sesekali bapak kelahiran 12 Oktober 1957 bermain dengan para penghuni rusunawa. 

“Para mahasiswa harus terus menjaga kebugaran jasmani dengan berolahraga,” ujarnya berpesan.
 
Kepada Pioneer ia bercerita tentang kegemarannya pada dunia olahraga sejak masih anak-anak. Saat itu Dapan kecil masih duduk di SD Sono 2 hingga lulus tahun 1972. Usai menamatkan SD, ia melanjutkan ke SMP Dana Cipta sampai tahun 1975. Hingga memasuki usia remaja ia bersekolah di STM Patimura sampai tahun 1978. 

Kecintaan pada olahraga diseriusi saat ia memilih melanjutkan kuliah. Prestasi akademik diraihnya hingga mendapat gelar sarjana muda dari IKIP Yogyakarta saat itu. Di kampus almamaternya ini ia mengabdikan diri sebagai dosen PJKR. Tak butuh waktu lama usai mendapat gelar sarjana, Dapan muda kembali menjadi mahasiswa. Saat itu ia mengambil Program Pasca Sarjana di Universitas Airlangga Surabaya hingga tahun 1988.
(Dona)

Read more ...

BU LURAH SEMPAT KESULITAN BERBAHASA JAWA

Siapa yang tak kenal Endang Mardiah? Dara asli Minang ini diamanahi menjadi bu lurah di asrama putri. Sebagai perantauan baru di tanah Jawa, ia tak pernah menyangka akan didaulat menjadi penyambung lidah teman-temannya dengan birokrat kampus. Bagi Endang, menjadi bu lurah adalah amanah dari orang banyak.
 
“Menjadi bu lurah itu tanggungjawabnya besar, karena bukan hanya tanggungjawab sama UNY, tapi sama Tuhan juga,” ujarnya.
 

Siapa sangka di balik paras feminimnya ternyata ia gemar jalan-jalan dan nonton film. Saat ada waktu luang biasanya ia menyempatkan diri untuk bisa mengenal lingkungan kampus. Setahun menjadi orang Jogja, ia terobsesi ingin membawa cerita dan pengalaman ke kampung halaman, Riau. Bercerita tentang pengalaman pertamanya mendarat di Jawa, kata Endang ia mengalami kesulitan berkomunikasi karena perbedaan bahasa. Tapi tak lama ia langsung bisa menyesuaikan diri. Bagi Endang dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
 
Dara kelahiran 9 Februari 1989 ini bergabung dengan LPTK Universitas Negeri Padang (UNP) saat menjadi guru SM-3T. Ia tertarik pada dunia anak, sehingga semasa kuliah Endang mengambil jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) di UNP. Endang kecil pernah bercita-cita menjadi guru, semesta telah mengabulkan. Belum cukup, kali ini ia ingin menjadi tenaga profesional di bidangnya sehingga bisa memberi kebermanfaatan bagi orang lain. Pengusaha sukses juga merupakan cita-cita keduanya setelah guru.
 
Perjalanan Endang sejauh ini tentu diraihnya dengan penuh perjuangan. Bahkan sebelum bergabung dengan SM-3T, gadis penyuka bakso ini pernah menjadi karyawan dalam sebuah perusahaan swasta. (Ijul)
Read more ...

PENDIDIKAN SENJATA UNTUK BERBISNIS

Profesi tertua yang mengiringi perkembangan peradaban manusia di muka bumi adalah guru. Hingga sekarang profesi ini tetap eksis dan terus berkembang. Daud Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia juga pernah berujar bahwa di dunia ini hanya ada dua profesi, yaitu guru dan selain guru (dokter, pengacara, akuntan, arsitek, dll). Ini mengisyaratkan bahwa menjadi guru berarti sudah mengambil setengah dari segenap profesi yang ada di dunia.
 
Profesi guru tidak hanya diminati oleh mereka yang berlatarbelakang pendidikan saja. Banyak sarjana non kependidikan yang pada akhirnya ikut menceburkan diri dalam dunia pendidikan. Satu di antaranya adalah tenaga pengajar pada pendidikan non formal seperti bimbingan belajar (bimbel). Ini menandakan selain eksis, profesi guru memang paling efektif untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa Indonesia. 

Munculnya bimbingan belajar memang membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun hal ini juga memicu pertanyaan tentang kualitas pendidikan di sekolah formal. Bisa jadi para siswa yang belajar ke bimbel adalah untuk memperdalam materi pelajaran yang didapatnya di sekolah. Namun bisa pula dikarenakan pembelajaran di sekolah belum mampu dipahaminya dengan baik. Permasalahan kedua ini yang sepertinya perlu dianalisis bersama dengan kemunculan bimbel.

Apabila dilihat dari sudut pandang lain, bimbel juga menguntungkan banyak pengusaha. Baik mereka yang berlatar belakang pendidikan, maupun non kependidikan. Saat ini kemunculan bimbel seolah menjadi ajang bisnis yang marak di Indonesia. Meski tak bisa dipungkiri bahwa di sisi lain juga membawa kebermanfaatan. 

Di era global yang penuh transparansi dan keterbukaan seperti sekarang, pendidikan menjadi sasaran bisnis yang empuk. Namun hal ini tak akan menjadi persoalan besar selama ghiroh pendidikan masih terjaga. Ki Hadjar Dewantara pernah menyampaikan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia. 

Mencoba melihat sudut pandang dari pengusaha, bahwa pendidikan adalah hal yang menguntungkan. Bisnis pada akhirnya dinilai dengan kemampuan seseorang untuk mengembangkan pendidikan yang telah didapatnya. Akhirnya ilmu yang paling mahal adalah mencoba bisnis itu sendiri. 

M. Suyanto, pendiri STIMIK Amikom Yogyakarta mengibaratkan bahwa memulai bisnis itu seperti sekolah atau kuliah. Apabila merugikan maka sama halnya dengan mahasiswa membayar SPP kuliah, sedangkan kalau menguntungkan itu berarti mendapat beasiswa. Keuntungan tidak akan diperoleh apabila tidak mencoba. Maka disitulah pendidikan membawa kebermanfaatan bagi pebisnis yang sedang melanggengkan usaha.
 
Meski mampu mendirikan kampus, mengajar, dan pernah menjadi guru namun Suyanto muda bukanlah sarjana pendidikan. Maka disitulah pendidikan telah mengantarkannya berkecimpung dalam dunia pendidikan. Terlebih saat ini, Indonesia sedang gencar mempersiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi pasar bebas. Pebisnis yang menguasai pendidikan pun sangat dibutuhkan. Indonesia masih banyak membutuhkan entrepreneur untuk bisa terus mengembangkan pendidikannya.
 
“Pendidikan kita dapat dipakai sebagai senjata untuk memulai bisnis,” ujarmya.
 
Menurut Suyanto, ketika ia diterima di FMIPA Fisika Universitas Gadjah Mada, itu berarti ia telah mempunyai bekal ilmu untuk memulai bisnis. Ia bergabung dengan kawan-kawannya dan menciptakan peluang bisnis berupa bimbingan belajar. Persaingan terbuka saat ini tidak hanya memberikan tempat bagi para ahli (highly skilled), namun juga bagi mereka yang mempunyai attitude. (Amin)



Read more ...

PENDIDIKAN UJUNG TOMBAK MENYAMNBUT AEC

 oleh Achmad Faisal A


Sebuah isu yang telah santer diperbincangkan selama lebih dari satu dekade terakhir dimana Indonesia dikabarkan akan memberlakukan pasar bebas yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) ternyata bukanlah sekadar ‘dongeng’ semata. Ini terbukti, sesuai dengan kesepakatan negara-negara ASEAN bahwa MEA akan diberlakukan mulai akhir tahun 2015. Dalam realisasinya nanti MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional. Berbagai profesi nantinya boleh diisi oleh tenaga kerja asing. Hal ini dikarenakan MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. Ada 12 sektor yang disepakati di dalam MEA yaitu sektor jasa meliputi lima sektor, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, telematika, dan transportasi udara, sedangkan sektor produk meliputi pertanian, perikanan, karet, kayu, otomotif, elektronik dan tekstil. Untuk tenaga kerja profesi pendidik tidak dicantumkan di dalam kesepakatan karena belum siap menghadapi persaingan.

Bagi  para tenaga pendidik atau guru khususnya di Indonesia mungkin kabar tersebut sedikit melegakan. Mereka tidak perlu ikut bersaing dengan para pendidik dari negara-negara tetangga. Bersaing dengan para pendidik di negeri sendiri saja rasanya sudah sangat berat, apalagi kalau harus ditambah dengan para pendidik dari luar negeri. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah  siapa yang mendidik insinyur, perawat, dokter, akuntan dan yang lainnya yang nanti akan bersaing dengan tenaga kerja profesional dari luar? Sudah barang tentu setiap orang akan menjawab, guru atau pendidik. Dari pertanyaan tersebut bisa disimpulkan bahwa tugas dan tanggung jawab seorang tenaga pendidik atau guru tidak akan semudah sebelumnya. Tugas guru sebagai ujung tombak sistem pendidikan akan jauh lebih kompleks ke depannya menjelang diberlakukannya MEA.

“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, pepatah ini menggambarkan begitu besarnya peran pendidik dalam menentukan seperti apakah nantinya lulusan yang akan dihasilkan. Jika guru tidak memiliki profesionalitas baik, maka akan tercipta generasi yang jauh lebih jelek dari sebelumnya. Begitu juga sebaliknya, jika guru memiliki profesionalitas baik, maka akan tercipta generasi yang jauh lebih maju dibandingkan sebelumnya. Untuk membentuk tenaga kerja pendidik yang profesional bukanlah perkara mudah dan membutuhkan waktu yang lama. 

Sementara ini Pendidikan Profesi Guru (PPG) masih menjadi satu tolak ukur dan sarana untuk mencetak guru profesional. Dalam mencetak pendidik atau guru profesional sebaikya tidak hanya dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan pedagogik berdasarkan bidang keilmuannya saja. Karena hal itu seharusnya sudah diberikan ketika mereka belajar di perguruan tinggi. Akan lebih baik seandainya PPG juga dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan lain, sehingga mampu mencetak lulusan yang berkarakter dan siap menciptakan lapangan kerja. (*)
Read more ...

PERSAINGAN TENAGA PENDIDIK DALAM PASAR BEBAS


Baru kali ini sepanjang sejarah, Indonesia menerapkan dua kurikulum dalam waktu yang bersamaan. Meski dengan alasan logis, bahwa ada perbedaan kesiapan di beberapa sekolah, namun hal ini terkesan rancu. Kurikulum 2013 (K13) dirancang istimewa seolah diperuntukkan bagi kalangan istimewa pula. Adalah mereka yang sudah dianggap siap dengan tantangan zaman yang menerapkan K13. Sedang Kurikulum 2006 diperuntukkan bagi sekolah dengan kalangan ‘lama’ yang notabene belum siap dengan perubahan.

Wacana tentang kurikulum tidak akan basi untuk dibahas selama pendidikan belum mencapai kata layak. Ini baru analisa yang paling mendasar dari sistem yang menjadi garda depan proses pembelajaran. Belum lagi dengan persaingan zaman di luar sana yang memaksa siapa pun untuk selalu siap, termasuk kepada sekolah dengan kurikulum lama.


Baru-baru ini ramai dibahas tentang persiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Beberapa lini sedang gencar memantaskan diri untuk bisa bersaing dalam pasar bebas se-Asia Tenggara, termasuk lini pendidikan.

Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia menjadi masalah rumah tangga yang semestinya sudah selesai jauh-jauh hari sebelum dilancarkannya MEA. Guru Besar Fakultas Ekonomi UNY, Prof. Suyanto, Ph.D dalam seminarnya pernah menyampaikan tantangan guru menuju MEA. Menurutnya, secara internal Indonesia seharusnya memiliki daya saing dan produktivitas tinggi. Sumber daya manusianya juga dituntut memiliki spesialisasi, kompetensi, etos kerja, kultur, dan produktivitas yang tinggi pula. Sedangkan secara eksternal, harus ada pemenuhan komitmen terhadap roadmap menuju MEA 2015 baik secara individu maupun kolektif di ASEAN.

Melihat orientasi MEA yang lebih mengarah pada hasil finansial, tentu tak sejalan dengan konsep pendidikan Indonesia yang berpegang teguh pada pembangunan karakter. Kurikulum 2013 gencar menyuarakan pembentukan karakter bagi peserta didik, namun sudahkah sejalan dengan persiapan menghadapi persaingan secara internasional? Pertanyaan ini seharusnya menjadi refklesi tersendiri dalam dunia pendidikan.

Satu hal yang menjadi kekhawatiran nantinya adalah tenaga kerja profesional ASEAN yang bisa membanjiri pasar tenaga kerja Indonesia. Hal ini akan semakin menggerus posisi tenaga pendidik dalam negeri. Sedang tenaga profesional Indonesia akan memilih pasar luar negeri yang lebih menjanjikan.

“Saat ini kondisi Indonesia terbilang lemah dalam daya saing nasional, apalagi nanti secara internasional. Begitu juga dengan kesiapan teknologi nasional yang masih rendah pula,” kata Prof. Suyanto, Ph.D.

Dr. Paidi, Dosen FMIPA UNY dalam kuliah umumnya (29/5) mengatakan saat ini sistem pendidikan Indonesia lebih menekankan higher order thinking skill. Dikatakan bahwa kondisi pendidikan Indonesia masih sangat kurang dalam foundational knowledge, berpikir tidak kreatif (konvergen), dan masih mudah dipengaruhi.

Kondisi ini akan menjadi persaingan bagi para pendidik profesional. Saat ini, di dalam negeri pun sudah terjadi antrean panjang untuk mengisi kekosongan tenaga pendidik. Setelah pasar bebas ASEAN dibuka secara resmi, tentu daftar antrean panjang tenaga pendidik akan bertambah. Berbagai kemungkinan akan terjadi. Jangan sampai Indonesia kembali ‘bekerja di rumah sendiri’ seperti yang terjadi pada awal abad 20.  (Pipit)
Read more ...

PERAN GURU MENYAMBUT MEA 2015

Lebih dari satu dekade yang lalu, para pemimpin ASEAN sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Rencananya agenda tersebut akan direalisasikan pada akhir tahun 2015. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing ASEAN serta bisa menyaingi Cina dan India dalam menarik investasi asing. Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini akan memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain ke seluruh Asia Tenggara. Alhasil kompetisi akan menjadi semakin ketat. Hal ini akan berdampak pada bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Menurut Organisasi Perburuhan Dunia (ILO), permintaan tenaga kerja menjelang MEA akan semakin tinggi.
 
Indonesia menjadi sasaran empuk penyelenggaraan pasar bebas se-Asia Tenggara. Mengingat negara kepulauan memiliki jumlah penduduk yang besar dan ketersediaan SDA yang melimpah. Soliditas antar pengusaha, tenaga kerja, dan lembaga pendidikan di negara kita menjadi hal yang sangat penting. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, kita akan semakin tertinggal.
 
Thailand sudah menggalakkan pembelajaran menggunakan Bahasa Indonesia di sekolah-sekolahnya. Di Malaysia, banyak dijumpai spanduk dan slogan menyambut MEA. Berbeda dengan Indonesia, negara ini justru memasang spanduk dan baliho partai politik dan gambar-gambar caleg.
 
Indonesia dihadapkan pada beberapa isu dalam persiapan mengahadapi MEA, diantaranya adalah sumber daya manusia yang unggul dan mampu bersaing secara global. Wardan Suyanto, M.A., Ed.D., Wakil Rektor I UNY mengatakan, era keterbukaan MEA akan dirasakan sama oleh masing-masing negara di Asia Tenggara. Semakin siap suatu negara maka akan semakin matang pula dalam bersaing dengan negara lain.
 
Dalam mempersiapkan SDM yang terampil dan mampu bersaing menghadapi MEA, pendidikan di sekolah menjadi satu bagian yang substansial. Maka peran guru sebagai ujung tombak dalam dunia pendidikan juga menjadi hal yang urgent pula. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan guru besar UNY, Prof. Suyanto, Ph.D. Menurutnya, kesiapan menghadapi MEA tidak luput dari peran guru profesional sebagai pencetak generasi emas Indonesia.
 
Pendidikan di perguruan tinggi pun mengharuskan mahasiswanya mempunyai kompetensi unggulan yang mampu bersaing dengan negara lain. Dra. Hj. Sri Astuti, M.Pd., Kaprodi Pendidikan Ekonomi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta pernah berujar bahwa softskill harus dimiliki mahasiswa. Peningkatan kualitas SDM, khususnya pembangunan pendidikan, telah menjadi prioritas negara-negara ASEAN dalam rencana pembangunan menyambut MEA 2015, tak terkecuali Indonesia. Oleh sebab itu, para pendidik dalam hal ini guru dan dosen, juga harus mempersiapkan diri lebih baik lagi agar peningkatan kualitas SDM tadi bisa terwujud. (Firdaus)
Read more ...

Tuesday, June 2, 2015

GURU HARUS PANDAI MENULIS

Pelatihan Jurnalistik Tim Redaksi Pionner, PPG SM-3T UNY
 
Puluhan orang tampak sibuk menulis berita yang ditugaskan oleh pembicara. Ada yang sembari melakukan diskusi dengan teman di sebelahnya, ada pula yang fokus dengan laptop di depannya. Suasana ini tidak dijumpai di ruang redaksi sebuah media konvensional, tapi ruang serbaguna Pendidikan Profesi Guru (PPG) UNY Kampus Wates.
 
Mereka adalah mahasiswa PPG SM-3T UNY yang tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik Pioneer. Para calon guru profesional ini mengikuti pelatihan jurnalistik dengan menghadirkan pembicara dari Tribun Jogja, Ibnu Taufiq Juariyanto, Rabu (20/5).
 
Kegiatan ini diselenggarakan oleh tim jurnalistik Pioneer. Peserta yang memiliki basic keguruan dan ilmu pendidikan sangat berantusias mengikuti pelatihan. Ibnu Taufiq menyampaikan materi tentang dasar-dasar kepenulisan yang merupakan modal awal dalam membuat sebuah tulisan.
 
Menurutnya sebuah tulisan harus memiliki news value diantaranya bersifat penting, menarik, dan aktual atau kekinian. Apalagi ketika seorang penulis ingin mengirimkan hasil tulisannya ke sebuah media konvensional, tentu harus memenuhi kaidah kepenulisan. Tak hanya itu, menurutnya tulisan juga harus berkaitan dengan kepentingan orang banyak (magnitute) dan mengandung kedekatan dengan sasaran pembaca. Sedangkan hal yang paling sederhana tulisan itu harus memiliki keunikan sehingga menarik pembaca untuk menyelesaikan hingga akhir tulisan.
 
“Kalau teman-teman ingin mengirimkan karya ke sebuah media setidaknya tulisan mengandung news value. Meski beberapa media juga mempunyai standarisasi sendiri,” ujarnya.
Ibnu yang sekaligus pemimpin redaksi ini juga menyampaikan beberapa jenis tulisan yang ada pada media konvensional. Diantaranya straight news, soft news, features, dan opini. Dalam pelatihan ini juga dilakukan simulasi menulis berita straight agar diketahui dimana letak kekurangan sebuah tulisan.
 
Hal yang sama juga disampaikan Eko Risqa Sari, Pemimpin Umum Ekstrakurikuler Jurnalistik Pioneer. Menurutnya pelatihan ini dilakukan untuk membekali para anggotanya dalam menulis, sehingga saat pelatihan dilakukan simulasi. “Setiap dua bulan kami menerbitkan buletin yang digarap oleh teman-teman PPG SM-3T. Di sela-sela kesibukan kuliah para pengurus masih menyempatkan diri untuk menulis. Kegiatan ini juga untuk mengasah kemampuan calon guru dalam menulis,” kata Eko.
 
Minimnya minat guru dalam menulis sering menjadi hambatan untuk menghasilkan sebuah karya. Padahal di era maju seperti sekarang ini guru juga dituntut tidak hanya pandai mengajar namun juga menulis. Beberapa media memberi ruang bagi kalangan pendidikan termasuk guru untuk menuangkan gagasannya, namun itu masih sangat minim belum sebanding dengan jumlah guru di Indonesia.
 
Buletin Pioneer mencoba menjembatani calon guru profesional ini untuk memulai kegiatan menulis. Sehingga rubrik yang disajikan dalam buletin Pioneer sifatnya sederhana dan disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Namun Pioneer juga menyajikan wacana pendidikan yang sifatnya lokal maupun nasional. (*)

Oleh Fitri Nurhayati, S.Pd
Pemimpin Redaksi Pioneer,
Mahasiswa PPG SM-3T UNY

Read more ...
Designed By Published. TIM Blogger Pioneer