Oleh: Anggi Perdana, S.Pd.
Kalau Kaisar Jepang menanyakan berapa jumlah guru yang masih hidup usai jatuhnya bom atom, saat ini pertanyaan yang tepat bagi kita adalah berapa jumlah guru yang ada di pedalaman Indonesia? Jawabannya masih sedikit. Kata Sedikit tidak dapat menggambarkan angka pasti karena memang benar-benar sedikit bahkan nyaris tidak ada di beberapa daerah.
Pengalaman setahun mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) membuktikan bahwa Indonesia masih kekurangan tenaga pendidik yang kompeten. Tak dipungkiri kesejahteraan guru di daerah pedalaman memang masih jauh dari harapan. Hanya saja yang menggiurkan bagi kalangan pendidik satu ini adalah adanya jaminan sertifikasi. Padahal jaminan ini belum mampu menjangkau pendidikan di pelosok negeri. Sertifikasi hanya menjadi primadona di kalangan pendidik ‘kota’ yang kategori kualitas pendidikannya sudah tergolong maju, bukan tertinggal.
Sertifikasi tak dapat terlepas dari tolak ukur kesejahteraan guru di Indonesia. Tak heran jika saat ini yang menjadi prioritas abdi negara satu ini adalah tunjangan sertifikasi. Pemerintah pun menetapkan banyak kebijakan bagi para guru untuk mendapatkan tunjangan ini. Seharusnya ada sinkronisasi antara tujuan dibuatnya kebijakan dengan kinerja guru sehingga tercipta pendidikan yang berkualitas.
Sertifikasi guru bisa ditempuh dengan berbagai jalur yaitu melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan dengan beasiswa SM-3T, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), Pemberian Sertifikasi Pendidik secara Langung (PSPL), dan Portofolio. Banyaknya kebijakan yang diterapkan pemerintah seharusnya dapat menjawab kebutuhan guru hingga di pelosok negeri. Kemana saja 20 persen alokasi dana pendidikan kalau hanya guru yang sejahtera, sedangkan anak-anak pedalaman masih asing dengan yang namanya sekolah.
Mengenali satu per satu jalur sertifikasi, semoga kita tidak termasuk golongan yanga hanya mencari ‘sertifikat’ saja. Namun setidaknya mempunyai niatan untuk ikut andil menjawab kekurangan guru di daerah pedalaman. Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) yang ditempatkan di titik-titik pedalaman Indonesia semoga bisa menjadi pelita di kegelapan mereka. Peserta SM-3T sebelumnya harus melewati serangkaian seleksi yang meliputi administrasi, kemampuan akademik, wawancara, kesehatan, dan prakondisi sebelum diterjunkan di lapangan selama satu tahun. Setelah menyelesaikan tugas pengabdiannya kemudian ditarik kembali untuk mengikuti PPG Prajabatan melalui program beasiswa.
Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah akan dikemanakan alumni PPG SM-3T? Pemerintah menyudahi kontrak setelah peserta mendapat gelar guru profesional. Setelah menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk program PPG SM-3T hasilnya pun masih abu-abu. Meski baru-baru ini dihadirkan formasi khusus untuk mengikuti seleksi CPNS, namun cara ini belum tepat untuk dijadikan solusi menjawab kekurangan guru di pelosok negeri. Bisa saja para alumni tak lagi tertarik untuk mengajar atau memilih menjadi guru di ‘kota’, lagi-lagi distribusi guru pun belum merata. Akan lebih baik apabila lulusannya dikembalikan ke daerah yang memang benar-benar membutuhkan guru, ini akan lebih efektif untuk menjawab kekurangan guru Indonesia. Terlepas bersedia atau tidak untuk dikembalikan ke daerah penempatan, ini adalah sebuah konsekuensi mengikuti program yang digalang pemerintah. Seperti menghambur-hamburkan dana alokasi pendidikan, sertifikat profesi PPG Prajabatan baru bisa digunakan untuk pengajuan sertifikasi setelah peserta menjadi guru dalam satu lembaga pendidikan dan sudah mempunyai NUPTK.
Memang tidak mudah untuk mendapatkan sertifikasi, masih ada tahapan dan persyaratan lainnya yang harus dipenuhi untuk mendapatkan tunjangan profesi, apalagi bagi mereka yang mendapatkan sertifikat profesi melalui program PPG SM-3T. Entah akan menjadi angin segar atau malah harapan palsu, sertifikat profesi guru hasil PPG SM-3T ini akan dijadikan sebagai syarat wajib mengikuti tes CPNS tahun 2016. Itu berarti alumni PPG SM-3T mempunyai peluang untuk mengikuti tes CPNS. Hal ini tidak bisa menjadi jaminan untuk pemerataan pendidikan hingga pelosok negeri, namun hanya akan menguntungkan guru yang bersertifikat.
Perlu kita ketahu bersama, bahwa sertifikat profesi yang akan kita peroleh setelah lulus dari program PPG SM-3T (PPG Prajabatan) belum bisa diproses untuk langsung mendapatkan tunjangan sertifikasi. Terkecuali bagi mereka yang mengikuti program PPG dalam Jabatan, setelah lulus dan mendapatkan sertifikat profesi mereka sudah langsung bisa mengajukan dan mendapatkan tunjangan profesinya. Hal tersebut dikarenakan mereka sudah menjadi guru dalam suatu lembaga pendidikan minimal sudah lima tahun masa jabatan dan sudah mempunyai NUPTK. Hal demikian yang membedakan fungsi dari sertifikat profesi yang diperoleh dari PPG Prajabatan dan PPG dalam Jabatan. (*)
No comments:
Post a Comment