Oleh: Firdaus Laili
Di balapan MotoGP, Valentino Rossi dengan motor Yamaha normalnya beradu melawan pembalap selevel. Tentu tidak adil jika pembalap lokal Indonesia seperti Hendriansyah yang notabene hanya pembalap Road Race kelas motor bebek harus berduel di sebuah lintasan yang sama. Dengan fasilitas motor yang lebih sophisticated dan kru mekanik yang lebih world-class, sudah barang tentu The Doctor (julukan Rossi-red) akan jauh meninggalkan Hendriansyah. Namun bisa saja Hendriansyah menyamai perolehan waktunya Rossi, atau bahkan lebih cepat, tapi dengan cara yang tidak dibenarkan atau “haram”.
Analogi seperti itulah yang bisa merepresentasikan carut marut pendidikan di Indonesia, terutama dalam hal evaluasi. Sejalan dengan kebhinnekaan bangsa kita, sektor pendidikan juga memiliki keberagaman. Keberagaman ini berujung pada sulitnya melakukan penataan evaluasi pendidikan yang merata dan seimbang. Kementerian Pendidikan masih memiliki seabrek pekerjaan rumah (PR) yang entah kapan akan selesai.
Satu PR besar untuk Kementerian Pendidikan yang akhir-akhir ini sedang banyak diperbincangkan adalah soal evaluasi pendidikan berbentuk Ujian Nasional (UN). UN yang diterapkan di negara kita, baik untuk SD, SMP, maupun SMA masih memiliki ‘keganjilan’ yang banyak dikritisi para pemerhati pendidikan. Sebagai lembaga tertinggi yang mengurusi pendidikan di seluruh Indonesia, kementerian ini bertanggung jawab penuh terhadap keberlangsungan UN yang bersifat nasional.
Dalam hal evaluasi Kementerian Pendidikan mestinya memperhatikan faktor kelayakan secara menyeluruh. Faktor inilah yang akan mempengaruhi ‘kesehatan’ dan keseimbangan evaluasi pendidikan. Maka kelayakan sekolah dalam menyelenggarakan UN perlu diperhatikan secara menyeluruh. Artinya, bukan hanya sekolah yang terpantau saja, tapi juga kelayakan sekolah-sekolah yang tak terpantau sama sekali.
Faktor kelayakan sekolah dalam menyelenggarakan UN terselip dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang tidak hanya mengukur standar evaluasi. Ada delapan standar bersifat ‘nasional’ yang artinya berlaku untuk semua sekolah di seluruh Indonesia. Jika memang UN bertujuan untuk menstandarkan evaluasi pendidikan di seluruh Indonesia, maka mestinya tujuh standar pendidikan yang lain juga harus diperhatikan. Ada standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan pendidikan.
Tentu sangat tidak fair jika siswa di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) misalnya, diharuskan mengikuti UN yang sudah ditentukan skor minimalnya. Sarana dan prasarana untuk belajar mereka di sekolah saja masih jauh dari kata layak. Di pedalaman Kalimantan Utara misalnya, jangankan buku yang layak atau fasilitas yang memadai, listrik saja belum tersedia. Belum lagi ketiadaan guru yang sampai sekarang masih menjadi problematika tersendiri. Meski sudah lahir program-program seperti SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah 3T), persoalan kekurangan tenaga guru sebenarnya masih jauh dari kata teratasi. SM-3T hanya sedikit menambal lubang permasalahan yang sudah terlampau besar.
Pada praktiknya, mereka anak-anak sekolah di daerah 3T tetap diharuskan mengikuti UN yang sedikit banyak menentukan kelulusan mereka. Imbasnya, bisa ditebak. Terjadi kecurangan di sana-sini, bahkan ada yang sampai blak-blakan berbuat tidak jujur. Demi nama baik sekolah dan reputasi sang kepala sekolah segala cara dihalalkan asal siswanya bisa lulus UN.
Ujian Nasional, sesuai namanya, harusnya bersifat nasional. Namun, jika seperti di atas kondisi real-nya, bukan nasional namanya. UN hanya untuk siswa di perkotaan dengan sarana dan prasarana, tenaga pendidik, proses belajar, dan sederet komponen pendidikan lain yang sudah memenuhi standar nasional. UN tidak untuk anak sekolah di daerah pinggiran seperti daerah 3T yang serba terbatas dan tidak memiliki sekolah berstandar nasional. Artinya, ujian nasional tidak nasional.
Belum selesai masalah ketimpangan standar evaluasi, kini Kementerian Pendidikan mulai mengubah format UN yang justru menimbulkan polemik baru. Mulai tahun ini, ada beberapa sekolah yang akan menyelenggarakan UN secara online. Lagi-lagi, kesenjangan menjadi sumber masalah. Laboratorium komputer yang representatif dengan tersedianya koneksi Internet adalah syarat yang hanya sebagian kecil sekolah yang sudah bisa memenuhinya. (*)
No comments:
Post a Comment